Apa itu arti dan pengertian ikhlas di dalam Islam? Apa saja tingkatan ikhlas? Tulisan singkat berikut ini akan mengulasnya untuk para pembaca yang budiman.
1.Makna Ikhlas
Secara bahasa, suatu benda yang terbebas dari campuran dengan benda lainnya, semisal susu yang terbebas dari campuran air, disebut oleh orang Arab dengan khalis. Sedangkan ikhlas adalah perbuatan untuk menjernihkan atau memurnikan susu tersebut dari campuran air.
Adapun pengertian ikhlas menurut syara’ adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Al-Jani:
“Al ikhlaashu an laa tathluba li’amalika syaaHidan ghairullaHi“
Artinya:
“Ikhlas itu adalah bahwa Anda tidak membutuhkan saksi bagi amal Anda selain Allah SWT.”
Sedangkan definisi ikhlas lainnya menurut syara‘ adalah seperti yang disampaikan Imam Fudhail bin ‘Iyadh:
“Al ‘amalu li ajlinnaasi syirkun wa tarkul ‘amali li ajlinnaasi riyaaun wal ikhlaashu anyu’aafiyakallaHu minHuma“
Artinya:
“Beramal karena manusia adalah syirik, dan meninggalkan amal karena manusia adalah syirik kecil (riya), sedangkan ikhlas adalah Allah menyelamatkan Anda dari kedua hal tersebut.”
Sebagaimana telah kita maklumi bersama, ketaatan dalam menjalankan berbagai amal perbuatan yang dituntut dalam Islam adalah semata-mata dilakukan karena Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Bayyinah ayat 5 dan juga dalam sejumlah hadis, salah satunya adalah:
Dari Dhahhak bin Qais bahwa Al Fahri telah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwasanya Allah telah berfirman, “Sebaik-baik sekutu adalah orang yang bersekutu denganku, maka dia adalah sekutuku. Wahai manusia, ikhlaskan olehmu akan amal-amalmu, karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima melainkan sesuatu yang murni bagi-Nya.” “(HR Ad-Daruqutni)
Oleh karena itu sholat wajib yang kita lakukan cukuplah Allah menjadi saksinya. Sedekah yang kita berikan juga cukup Allah saksinya. Riba yang kita tinggalkan juga cukuplah rasa takut kepada Allah yang menjadi sebabnya.
Demikian juga jangan sampai suatu kewajiban dari agama kita tinggalkan hanya karena takut kepada manusia, baik celaan maupun kejahatannya, karena hal itu akan termasuk syirik kecil (riya).
Namun perlu juga diingatkan, agar kita bisa bersikap ikhlas maka perlu didahului oleh pengetahuan akan ilmu fikih terhadap berbagai amal perbuatan yang dituntut dikerjakan atau ditinggalkan di dalam Islam. Hal ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan pelaksanaan suatu amal saleh itu sendiri.
2. Tingkatan Ikhlas
Ikhlas sendiri mengenal adanya tiga tingkatan:
a. Tingkatan tertinggi, yaitu taat dengan niatan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang dinukil dalam kitab Hidayat Al Adzkiya ila Tariq Al Auliya:
“Akhlish wa dzaa anlaa turiida bithaa’atin illaattaqarruba min ilaHika dzilkilaa“
Artinya:
“Dirimu ikhlaslah, dan ikhlas ini bahwa tidak Anda tunjukkan dengan ketaatan Anda ini melainkan menghampirkan Anda kepada Tuhan yang Maha Memelihara.”
b. Tingkatan yang lebih rendah, yakni sebagaimana yang disampaikan oleh As-Sayid Bakri di dalam kitab Kifayat Al Atqiya wa Minhaj al Asfiya‘:
“Al ‘amalu thama’an fitstswaabi waHaraban minal ‘iqaabi“
Artinya:
“Beramal karena berharap pahala dan lari dari siksa Allah SWT”
c. Tingkatan yang paling rendah, juga sebagaimana yang disampaikan oleh As-Sayid Bakri di dalam kitab Kifayat Al Atqiya wa Minhaj al Asfiya‘:
“Al ‘amalu li ajli annallaHa yughniiHi fiddunya ‘aninnaasi kaana yaqra’a suratul waaqiati lidzalika wahadzhiHil martabatu Hiyaddunya washaahibuHa yu’addu mukhlishan.”
Artinya:
“Beramal supaya Allah SWT memperkaya dirinya di dunia dari manusia, seperti membaca surat Al Waqiah. Tingkatan inilah yang paling rendah, namun pelakunya masih disebut orang ikhlas.”
Masya Allah…Semoga Allah SWT berkenan menjadikan kita semua orang-orang yang diberikan pemahaman dalam agama Islam dan termasuk ke dalam orang-orang yang ikhlas. Aamiin…
Sumber:
KH M Syafi’i Hadzami. Taudhihul Adillah, Fatwa-fatwa Muallim KH M. Syafi’i Hadzami (Buku 2). Penerbit PT Elex Media Komputindo. Jakarta, 2010.
Catatan:
KH M Syafi’i Hadzami (1931-2006) pernah menjadi Ketua Umum MUI DKI dua periode (1990 – 2000). Beliau adalah murid dari Kakek Husin dan Kiai Abdul Fatah di Batu Tulis, Jakarta. Guru-guru beliau yang lain adalah Pak Sholihin, Guru Sa’idan (Kemayoran), KH Ya’kub Saidi (Guru Ya’kub), KH Mahmud Romli (Guru Mahmud), KH Mukhtar Muhammad (Kebon Sirih), Habib Ali Bungur, Habib Ali Kwitang.
Tinggalkan Komentar