Sebagai pendidik agung, rasulullah SAW berhasil mencetak banyak orang besar dari kalangan muridnya yang tidak lain adalah para sahabatnya sendiri.
Salah satunya adalah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang kelak menjadi khalifah sepeninggal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Salah satu ajaran rasulullah SAW yang dilaksanakan dengan penuh ketaatan tanpa keraguan adalah mengenai penegakan hukum yang tanpa tebang pilih.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadis riwayat Bukhari dan juga riwayat Muslim, bahwa rasulullah SAW pernah berwasiat di hadapan para sahabatnya,
“….Ketahuilah bahwa kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah jika orang yang mulia di antara mereka mencuri, maka hukum diabaikan. Namun jika orang yang lemah di antara mereka mencuri, maka hukum akan ditegakkan. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Wasiat dan ajaran rasulullah SAW tersebut diingat betul oleh Umar bin Khattab sewaktu menjabat khalifah saat dihadapkan dengan kasus pemerkosaan yang melibatkan anaknya sendiri.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita dari Bani Najjar sembari menggendong seorang bayi menghadap khalifah Umar yang sedang bersama para sahabatnya di masjid Nabawi.
Wanita itu mengatakan bahwa bayi yang digendongnya adalah anak dari Ubaidillah alias Abu Syahmah yang telah memperkosanya 9 bulan sebelumnya. Ubaidillah sendiri adalah anak kandung dari Umar bin Khattab.
Tentu saja Umar bin Khattab sangat terkejut mendengar perkataannya. Lalu Umar mengambil lembaran Al Qur’an dan mengatakan apakah ia bersedia untuk bersumpah di bawah Al Qur’an? Si wanita pun menyanggupinya.
Maka si wanita pun disumpah di bawah Al Qur’an, berurutan mulai dari lembaran surat Al Baqarah hingga surat Yasin. Ketika sampai pada surat Yasin itulah Umar pun meyakini bahwa si wanita telah mengatakan hal yang sebenarnya.
Kemudian Umar memberikan uang sebesar 30 dinar dan 10 stel pakaian kepada si wanita sembari mengatakan, “Ikhlaskan apa yang telah diperbuat anakku Abu Syahmah. Jika engkau ingin menuntutnya, maka tuntutlah kepada Allah di hari kiamat ketika kita semua berkumpul di hadapan-Nya.” Setelah itu, si wanita pun pergi dari hadapan Umar bin Khattab.
Apakah Umar bin Khattab diam saja setelah kejadian ini? Ternyata tidak.
Ia pulang ke rumah menemui Abu Syahmah. Umar bertanya mengenai kejadian di masjid Nabawi tadi. Abu Syahmah pun terkejut, tidak menyangka bahwa ayahnya bertanya sesuatu yang dirahasiakannya.
Maka Abu Syahmah pun membenarkan sembari menceritakan mengapa hal itu terjadi. Saat itu ia dalam kondisi mabuk sehabis bertamu kepada seorang kenalan yang beragama Yahudi yang menyuguhkannya khamar.
Ketika pulang dari rumah Yahudi itu, ia melewati perkampungan Bani Najjar. Di tengah jalan itulah ia berpapasan dengan si wanita. Maka terjadilah peristiwa itu.
Mendengar penjelasan Abu Syahmah maka Umar bin Khattab memintanya untuk bertanggung jawab serta membawanya ke Masjid Nabawi untuk dilaksanakan hukuman hudud sesuai Islam berupa dera (jilid / cambuk) sebanyak seratus kali di hadapan para sahabat rasulullah SAW.
Umar meminta budaknya yang bernama Muflih untuk melaksanakan hukuman cambuk itu. Muflih menolaknya dengan alasan pukulannya selalu bisa membuat unta mati dan tembok pun bisa runtuh. Namun Abu Syahmah meyakinkan MUflih untuk mengikuti saja apa yang disuruh oleh ayahnya.
Maka mulailah Muflih melaksanakan tugasnya. Awalnya Abu Syahmah masih dapat menahan rasa sakit akibat cambukan. Lama kelamaan ia merasa tidak tahan dan meminta para sahabat yang hadir untuk memohonkan ampun kepada ayahnya. Namun Umar bin Khattab tetap bergeming.
Pada cambukan ke-70 Abu Syahmah berkata kepada ayahnya bahwa ia merasa maut sudah akan mnejemputnya. Namun Umar balik mengatakan jika ia mati maka sampaikan kepada rasulullah SAW bahwa Umar telah membunuhnya.
Lalu pada deraan ke-90 ia mengucapkan salam perpisahan kepada para sahabat rasulullah SAW yang hadir bahwa ia tidak akan bertemu lagi dengan mereka hingga Hari Kebangkitan.
Pada cambukan ke-100 Abu Syahmah ambruk ke tanah. Muflih mengecek kondisinya dan mendapati bahwa ia telah wafat.
Umar bin Khattab ra pun mengangkat jenazahnya dibantu para sahabat, membawanya pulang lalu memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkannya.
Selang beberapa waktu setelah itu Ibnu Abbas ra pun menceritakan, bahwa ia bermimpi bertemu rasulullah SAW yang berpakaian serba putih. Di hadapannya berdiri Abu Syahmah berpakaian serba hijau.
Setelah Ibnu Abbas mengucapkan salam dan mengecup kening rasulullah, beliau pun bersabda di dalam mimpinya itu,
“Wahai anak pamanku, sampaikan salam dariku untuk Umar dan katakan kepadanya Semoga Allah membalas amalnya karena ia tidak menyia-nyiakan hak Allah sesudahku. Bergembiralah engkau wahai Umar. Allah telah menyediakan untukmu gedung beserta kamar-kamarnya di surga. Dan anakmu, Abu Syahmah, telah mencapai derajat orang-orang yang jujur di hadapan Allah SWT, Raja yang Maha Kuasa.”
Sumber:
The Golden Stories 150 Mozaik Mencerahkan Sepanjang Sejarah oleh Fuad Abdurahman dan Abdullah Nur. Tinta Medina, Solo, Cetakan ke-1, 2017.
Tinggalkan Komentar