Hasil Survey Study.Com tentang ChatGPT, Lebih Banyak Profesor dan Guru yang Mendukung Akses ke ChatGPT

Sebuah lembaga bernama study.com pada bulan Januari 2023 mengadakan survei terhadap seratus guru & dosen dan seribu siswa berusia di atas 18 tahun mengenai pemakaian chatbot ChatGPT di sekolah dalam survey yang berjudul “Perception of ChatGPT in Schools” [1].

Hasil survey tersebut cukup memberikan gambaran bagi kita mengenai persepsi dunia pendidikan terhadap ChatGPT. Menurut survey study.com itu, sebanyak 72% dari profesor khawatir jika para mahasiswanya menggunakan ChatGPT untuk mencontek. Namun hanya 58% saja dari guru sekolah yang khawatir.

Lalu, terdapat sekitar 34% dari seluruh profesor dan guru yang di-survey ingin agar ChatGPT dilarang di perguruan tinggi atau sekolah. Tetapi yang mengejutkan, ada lebih banyak lagi profesor dan guru, yakni sebanyak 66% yang mendukung pemberian akses ke ChatGPT bagi murid atau mahasiswa. Sementara itu, ada 72% dari mahasiswa yang di-survey justru mendukung pelarangan akses ke ChatGPT di jaringan kampus mereka.

Selain itu, survey juga menemukan fakta bahwa 89% siswa mengaku telah memanfaatkan ChatGPT untuk mengerjakan PR mereka. Terdapat 48% siswa yang menggunakan ChatGPT untuk mengerjakan tes/kuis dari rumah, 53% memakainya untuk membuat tulisan ilmiah serta ada 22 % siswa yang menggunakannya untuk merancang outline tulisan.

Setiawan dan Luthfiyani, staf pengajar di ITI menulis dalam sebuah jurnal [2] bahwa terlepas dari hasil survey tersebut, kehadiran teknologi berbasis AI seperti ChatGPT ini sebenarnya membuka peluang bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Khususnya dalam pengembangan kompetensi (skills) mahasiswa yang diperlukan di abad ke-21.

Terdapat 6 kompetensi yang perlu dimiliki mahasiswa di Era Education 4.0, yakni:

• berpikir kritis,
• kolaborasi,
• komunikasi
• kreativitas

serta ada penambahan dua kompetensi pendukung lainnya, yaitu:

• pendidikan karakter
• kewarganegaraan.

Nah, ke-6 kompetensi di atas dapat diasah serta dikembangkan di mana salah satunya adalah melalui peningkatan kemampuan/keterampilan menulis. Hal ini disebabkan masih banyak mahasiswa yang lemah dalam menuangkan gagasannya secara tertulis. Kegiatan menulis dan membaca tampaknya masih menjadi momok bagi mahasiswa.

Teknologi biasanya dapat menghadirkan unsur fun (gembira) dalam suatu aktivitas, sehingga pemanfaatan teknologi ChatGPT diharapkan memberikan rasa puas. Yaitu saat ketika mahasiswa yang tidak terbiasa menulis, tetiba mereka mampu membuat suatu tulisan lengkap. Mereka pun bisa bermain-main dengannya. Mudah-mudahan pencapaian ini, meskipun instan, bisa memberikan dorongan bagi munculnya keinginan belajar menulis lebih jauh lagi.

Proses pembelajaran mahasiswa dengan mengintegrasikan teknologi ini kemudian bisa menjadi salah satu bentuk jawaban atas tantangan kebutuhan pembelajaran seumur hidup. Perguruan tinggi jelas dituntut untuk mengutamakan kebutuhan “skill over degree“. Ijasah hanyalah pelengkap dari kemampuan yang dimiliki mahasiswa untuk menjalani kehidupan profesional mereka di luar kampus.

Hal ini tentunya sesuai dengan kondisi di mana mahasiswa tumbuh dan berkembang di era Revolusi Industri 4.0 atau Education 4.0 seperti sekarang ini. Mereka saat ini hidup pada masa yang sama sekali berbeda dari masa tumbuh kembang guru/dosen mereka di era Revolusi Industri 3.0, atau bahkan era 2.0. Sebuah hadis dari baginda nabi Muhammad SAW menyatakan, ” ’allimu auladakum fainnahum makhluqun li zamanin ghairi zamanikum.” (Didiklah anak-anakmu karena sesungguhnya mereka akan hidup di zaman yang tidak sama dengan zamanmu).

Sumber:
[1] https://study.com/resources/perceptions-of-chatgpt-in-schools
[2] https://unimuda.e-journal.id/jurnalteknologiinformasi/article/view/3680